Kembali ke Semua Berita Raja Ampat Diselamatkan? Belum! Ini Baru Permulaan

Raja Ampat Diselamatkan? Belum! Ini Baru Permulaan

Oleh: Rifal Budi Yuliano | Published: 13 June 2025 18:35


<p><strong>KUDUS,</strong> <i><strong>pmiikudus.id</strong></i> - Beberapa hari terakhir, publik dihebohkan oleh pencabutan izin empat perusahaan tambang di Raja Ampat. Di permukaan, ini terlihat seperti kemenangan kecil bagi lingkungan. Tapi mari kita jujur dan lebih kritis: <strong>apakah ini cukup?</strong> Jawaban sederhananya: belum.</p><p>Sebagai generasi muda yang peduli akan masa depan bangsa dan kelestarian lingkungan, kita tidak bisa berhenti pada apresiasi simbolik. Kita harus menolak puas hanya dengan langkah kosmetik. Karena faktanya, perusahaan tambang seperti PT Gag Nikel di Pulau Gag—yang sudah nyata-nyata merusak lingkungan—masih dibiarkan beroperasi. Ini bukan kemenangan, ini distraksi.</p><h3><strong>Raja Ampat: Warisan Dunia, Bukan Korban Ekonomi Ekstraktif</strong></h3><p>Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah wilayah konservasi laut global, paru-paru bumi, dan ruang hidup masyarakat adat. Mengorbankannya demi eksploitasi tambang adalah bentuk kejahatan lingkungan dan pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.</p><h3><strong>Belajar dari Raja Ampat: Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama</strong></h3><p>Kasus ini memperlihatkan wajah asli tata kelola tambang di Indonesia—tak jarang sarat kepentingan dan minim transparansi. Di balik janji "kesejahteraan ekonomi", tersimpan risiko kerusakan ekologis jangka panjang dan konflik sosial yang terus membayang. Apa yang perlu kita tuntut?</p><ol><li><strong>Transparansi Total dalam Perizinan</strong><br>Publik berhak tahu siapa yang memberi izin, untuk apa, dan di mana. Tak boleh ada lagi izin tambang muncul secara diam-diam di kawasan konservasi.</li><li><strong>Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil</strong><br>Hukum lingkungan bukan untuk dipajang. Jika ada pelanggaran, perusahaan—besar atau kecil—harus ditindak. Jangan beri ruang bagi impunitas korporasi.</li><li><strong>Partisipasi Publik yang Bermakna</strong><br>Suara masyarakat adat, ilmuwan, dan organisasi lingkungan harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan, bukan hanya pelengkap formalitas. Kita bukan penonton; kita pemilik masa depan.</li></ol><h3><strong>Nikel: Komoditas Strategis yang Bisa Jadi Bencana</strong></h3><p>Nikel kini jadi bintang industri, terutama karena kebutuhan global untuk baterai kendaraan listrik. Indonesia duduk di puncak cadangan dunia. Tapi mari jangan silau. Di balik "hilirisasi" dan jargon ekonomi hijau, ada realitas yang pahit: pembukaan hutan, pencemaran air, penggusuran masyarakat adat.</p><p>Apakah kita sedang membangun ekonomi masa depan atau sedang menyusun bom waktu ekologis?</p><p>Jika pemerintah serius soal keberlanjutan, maka:</p><ul><li>Penambangan harus memenuhi <strong>standar lingkungan tertinggi</strong>, bukan sekadar mengantongi dokumen AMDAL formalitas.</li><li>Teknologi rendah emisi dan ramah lingkungan harus jadi syarat mutlak, bukan opsi.</li><li>Reklamasi harus nyata, terukur, dan berkelanjutan—bukan sekadar janji investor.</li></ul><h3><strong>Masa Depan Ibu Pertiwi di Tangan Kita</strong></h3><p>Kita punya pilihan: tetap diam sambil alam kita dikuras habis, atau bergerak aktif menjaga tanah air ini tetap hidup dan lestari. Sebagai anak bangsa, kita tidak hanya mewarisi bumi ini dari leluhur, tetapi juga meminjamnya dari anak cucu.</p><p>Ini saatnya kita melawan narasi pembangunan yang membabi buta. Ini saatnya kita dorong pembangunan yang berkeadilan, berbasis hak, dan berorientasi jangka panjang.</p><p><strong>Apakah kita akan terus membiarkan kekayaan alam kita dihancurkan demi keuntungan sesaat? Atau kita akan bangkit dan bersatu demi memastikan bahwa pembangunan tidak menafikan keberlanjutan?</strong></p><p>Pilihan itu ada pada kita. Dan sejarah akan mencatat, apakah kita memilih untuk bersikap.</p><p>Jika Anda ingin versi ini disesuaikan untuk artikel media atau unggahan media sosial, saya bisa bantu modifikasi gaya bahasanya juga.</p>
```